Review
Petaka Gunung Tamponas

Petaka Gunung Tamponas

Petaka Gunung Tamponas merupakan novel nonfiksi ini merupakan cerita yang disampaikan oleh penulis tentang kasus kerusakan Gn. Tampomas. Menurut pandangannya bahwa kerusakan Gn. Tampomas ini merupakan kasus lokal tetapi sebagai cermin perkembangan global yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Kerusakan tersebut merupakan cermin perkembangan budaya global akibat dari penjajahan yang berlangsung selama ini, yaitu negara-negara yang dijajah tidak memiliki kesempatan untuk berada di dalam gerbong kemajuan zaman sebagaimana lintasan zaman yang digambarkan oleh Kondratieff ke-1 hingga Kondratieff ke-5.

Bahkan dirancang bahwa bangsa-bangsa yang dijajah, khususnya bangsa tropika selalu berada di luar gerbong kemajuan zaman itu, melalui rancang bangun beragam institusi sebagaimana digambarkan dalam buku, antara lain, Bad Samaritans.1 Tanpa disadari ternyata bahwa proses penjajahan itu adalah ibarat proses penggantian software pada hardware yang sama, yaitu otak manusia. Artinya, otaknya masih sama yaitu otak orang Indonesia, misalnya, tetapi softwarenya sudah diganti oleh pihak penjajah. Akibat penggantian software ini maka walaupun sudah merdeka kerangka budayanya masih sama seperti pada era penjajahan, mengingat software baru belum bisa kita buat, apalagi kita pasang.

Satu hal yang sangat prinsipil adalah tidak disadarinya bahwa kita selama ini berada di alam tropika. Karenanya, kita terus meniru atau lebih tepatnya “berguru” dalam mencari solusi kepada budaya temperate, sesuai dengan software atau budaya yang sudah ditanam selama ratusan tahun dan masih juga dilanjutkan ditanam hingga sekarang ini. Hal tersebut terus dilakukan walaupun sudah diketahui akibatnya bahwa kita akan terjerumus masuk ke dalam jurang yang lebih dalam. Hal ini diilustrasikan, misalnya, bahwa walaupun harga riil komoditas pertanian terus menurun, kerangka berpikir yang kita lakukan masih tetap mengerjakan seolah-olah harga riil komoditas pertanian itu meningkat.

Di pihak lain, industri dan jasa tidak berkembang karena memang tidak dipikirkan dengan intensif, tidak seperti halnya yang dikerjakan oleh Malaysia, misalnya. Ini tergambar dalam kapabilitas Malaysia yang bisa memperoleh pendapatan per 1 dollar pinjaman utang luar negeri hampir mendapatkan 1 dollar juga, sedangkan kita hanya mendapatkan sekitar 0,39 dollar saja.

Penulis menguraikan panjang-lebar, khususnya pada Bab 5, tentang persoalan global yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus seperti Gn. Tampomas, khususnya di seluruh negara tropika yang hingga sekarang semuanya masih berada dalam kemiskinan (Singapura dan Hongkong dikeluarkan). Penulis menyimpulkan bahwa kisah semut dan api sebagaimana yang diceritakan oleh Alexander Solzhenitsyn masih berlaku hingga masa Indonesia sekarang. Penggantian software atau budaya berpikir baru dipandang sebagai suatu upaya keharusan untuk mengatasi mati-budaya sebagaimana tergambar dalam kasus mati budaya yang menyebabkan terjadinya petaka Gn. Tampomas.

Atas dasar ini penulis mengungkapkan bahwa di Sumedang terdapat ajaran Kasumedangan yang ternyata pas untuk digunakan masuk melompat ke gerbong perkembangan zaman yang dinamakan Kondratief ke-6. Hal inilah yang akan membuka kesempatan bangsa-bangsa tropika bisa beradaptasi dengan sifat intrinsik iklim tropika, yaitu panas, lembap, dan basah. Modal dasarnya disimbolkan oleh pemanfaatan secara sinergis antara sampah organik-lalat BSF-bebek yang dikembangkan melalui institusi koperasi.

Dalam novel ini disebutkan sebagai sebuah simbol bahwa perlunya mencontoh apa yang dikerjakan oleh 17 Heeren Belanda dalam menciptakan VOC pada masa yang lalu oleh 34 Gubernur Indonesia, yaitu 34 Gubernur Indonesia menciptakan Koperasi Bebek Indonesia (KBI). Selain hal tersebut diperlukan untuk mengantisipasi bencana dunia tropika pada 2050, seperti halnya bencana Covid-19 sekarang, yaitu bencana resistensi antibiotika yang diperkirakan akan menjadi pembunuh terbesar dunia nanti, kita sudah mempersiapkan jawabannya dari sejak sekarang. Bersamaan dengan itu, bebek juga merupakan instrumen simbol sumberdaya biologis utama tropika untuk mengatasi stunting dalam jangka pendek secara murah, mudah, dan adaptif terhadap iklim dan budaya tropika. Inilah salah satu makna dari Sedia Payung Sebelum Hujan dari Novel ini.

 

Tentang Penulis
Agus Pakpahan dilahirkan di Kampung Tagog, Desa Cibeureum Kulon, Kecamatan Cimalaka, Sumedang pada 29 Januari 1956. Profesinya sebagai peneliti tidak pernah dia lepaskan walaupun ia sempat bekerja di Bappenas (Biro Pertanian dan Pengairan, Kepala Biro Bantuan dan Regional-I; Kepala Biro Kelautan, Kedirgantaraan, Lingkungan Hidup dan IPTEK selama 1992-1997, Direktur Jenderal Perkebunan (1998-2003) (Kementerian Pertanian), dan Deputi Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan, Kementrian BUMN (2005-2010). Ia juga sempat menjadi Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKHPRG 2010-2019), dan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) (2000-2003).

Judul Buku: PETAKA GUNUNG TAMPOMAS: Kasus Lokal Cermin Global: Sedia Payung Sebelum Hujan

Penulis : Agus Pakpahan | Tahun Terbit : 2022 | Penerbit : Pustaka Obor Indonesia – Jakarta| Berat : 500g| Halaman : 515 |Dimensi : 14.5 x 21 cm