Review
Mirah Dari Banda

Mirah Dari Banda

Mirah dari Banda, karya Hanna Rambe merupakan novel yang mengungkapkan sisi paling gelap tragedi kemanusiaan akibat perang dan perbudakan oleh penjajah Belanda dan Jepang terhadap bangsa Indonesia. Perang dan penjajahan telah menginjak-injak harkat kemanusiaan serta menorehkan luka dan trauma bagi perempuan korban perang, seperti Mirah. Kuli kontrak, jugun ianfu, romusha, nyai (perempuan piaraan), buruh anak adalah pengalaman yang menjadi sisi dan warna kelam kehidupan bagi Mirah dari Banda dan semua perempuan yang mengalaminya.

Cerita yang disajikan secara indah, namun sangat sedih ketika kita membacanya. Seorang Mirah yang adalah sebagai budak perkebunan yang memiliki kecantikan dan eksostisme tubuhnya yang membuatnya diperalat dan menjadi budak seksualitas orang Belanda pada zaman itu. Membuatnya mengandung anak-anak perempuan Indonesia keturunan Belanda yang dinamai Lili dan Weli.

Ia melahirkan Lili dan Weli. Lili hilang dibawa tentara Jepang. Mirah tak pernah tahu, Lili kelak melahirkan bayi perempuan yang segera ditinggalnya mati. Bayi itu lalu dipungut orang dan dinamai Wendy Higgins. Mirah merasa heran tamunya yang juita mengingatkannya kepada Tuan Besar yang hilang karena jemputan tentara Jepang. Tak akan ada orang yang membukakan rahasia, sesungguhnya tamu itu ialah cucu kandungnya yang berbeda ras. Ketertarikan terhadap Mirah berawal dari penglihatan yang tidak biasa dari Wendy ketika ia ingin berterima kasih kepada juru dapur tersebut karena sudah menyiapkan hidangan yang begitu enak.

Di dapur, Mirah terlihat mengenakan kain batik dan juga kebaya model jawa. Hidungnya dilihat Wendy bukan seperti hidung khas orang-orang Indonesia, melainkan seperti orang Italia atau India atau Amerika Serikat. Matanya yang kelabu memancarkan dirinya seperti orang Eropa. Rasa penasaran tersebut ia tanyakan ke Ratna, dan betul saja, Mirah adalah seorang nyai dan perempuan peliharaan seorang perkeniers. Kisah Mirah tidak kemudian diceritakan pada bagian selanjutnya, yaitu ketiga dan keempat, melainkan pada bagian tersebut penulis dengan cukup detail menceritakan bagaimana Banda dalam lingkaran rempah, mulai dari kemasyuran dan kejatuhannya.

Pengarang tak “mempertemukan” keduanya sebagai orang sedarah. Sebaliknya, ia membawa kita kepada semacam pesona terhadap perjalanan nasib manusia dalam ‘campuran kimia’ yang aneh penuh dengan misteri penciptaan.”

Di bagian pertama ini, penulis memperlihatkan bagaimana para tokoh tertarik tentang kepulauan yang memiliki keindahan alam yang luar biasa, meskipun cerita-cerita sejarah disisipkan dalam alurnya melalui pengetahuan Jack. Oleh karena itu, tujuan mereka datang ke Banda adalah untuk membuat film tentang taman laut. Setting cerita yang ingin ditampilkan adalah bagaimana lalu-lalang orang berdatangan ke Banda. Lanjut dengan gambaran dan pengalaman menaiki perahu-perahu yang ada di Banda, dan tentunya menyelam di Laut Banda.

Pada bagian kedua, para turis ini gambarkan sangat takjub dengan surga tersembunyi, yakni Banda. Kemudian, masih di bagian yang sama, mereka diperkenalkan dengan sosok Mirah, yang di bagian-bagian berikutnya mengisi banyak cerita dalam novel ini.

“Salahkah Tuhan menciptakan dan menganugerahkan pala kepada penduduk Banda? Tidak. Tuhan tidak pernah bersalah, bukan? Tuhan Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Sempurna. Manusialah yang tidak pandai menghargai karunia-Nya. Manusia habis dicabik-cabik oleh egoisme”.